CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Thursday 17 January 2008

Salam Kebangsaan : Sebuah Catatan

Catatan Pembuka
- Selasa, 6 Maret 2007.
Pukul 11.50 (waktu Singapura) : terjadi gempa bumi. Warga berhamburan ke luar ruangan, bingung dan panik. Bahkan, pihak keamanan beberapa kantor sengaja memerintahkan seluruh karyawannya untuk ke luar dari kantor. Lima belas menit kemudian keadaan tenang kembali.
Pukul 13.50 (waktu Singapura) : gempa kedua. Sebagian warga kalang kabut. Para karyawan berhamburan kembali ke luar kantor. Akibatnya waktu istirahat siang menjadi amat panjang. Beberapa warga yang menempati bangunan bertingkat bergerombol di lantai bawah atau play ground.
Kami, warga Indonesia yang sedang bertugas/tinggal di Singapura, telah mengalami beberapa gempa di tanah air, hampir tidak menampakan kepanikan, menganggap sebagai gempa kecil saja. Namun selanjutnya menjadi panik setelah diperoleh berita bahwa, gempa tersebut berasal dari Indonesia tepatnya pada kedalaman 30 km, sekitar 55 km timur laut Padang. Gempa tersebut telah menelan korban 52 orang meninggal (diambil data terakhir, memang semula diberitakan 70 orang tapi kemudian Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi meralat jumlah korban menjadi 52 orang, dengan alasan beberapa korban dihitung ganda) dan kerusakan ribuan rumah, kantor pemerintah, fasilitas umum dan tempat ibadah.
Lagi-lagi di Indonesia.

- Rabu, 7 Maret 2007.
Kawan-kawan dengan harap-harap cemas terus memantau berita musibah gempa di Sumatera Barat, terutama yang mempunyai keluarga di daerah bencana. Diperoleh kabar bahwa terus terjadi ratusan gempa susulan dan perkiraan akan memicu aktivitas vulkanik Gunung Talang dan membentuk ngarai baru.
Pukul 09.00 waktu Singapura : tersiar kabar bahwa pada pukul 07.15 WIB pesawat Garuda GA 200 tipe Boing 737-400 terbakar di sisi timur landas pacu Bandar Udara Adi Sucipto, Yogyakarta. Dua puluh dua orang diberitakan meninggal dunia, puluhan lainnya luka-luka.

Kami yang berada di rantau seperti ini, yang masih diliputi rasa was-was akibat gempa hanya terpana dan terduduk lemas. Apa yang sedang terjadi dengan negeriku ?

- Kamis, 8 Maret 2007
Kami, selain tugas rutin masing-masing, kini ada pekerjaan tambahan, memantau terus berita di tanah air.
Pukul lima sore waktu Singapura, di Gedung Jamiyah Singapore, Geylang Road Lor 12. Selesai membahas rencana kegiatan bersama antara Sekolah Indonesia di Singapura dengan Jamiyah Singapore, terlibat diskusi ringan dan sampailah pada topik pembicaraan musibah yang terjadi di Indonesia. Salah seorang utusan Jamiyah (tentu saja Singaporean Citizen) melontarkan sejenis hipotesis-spekulatif, "Musibah yang terjadi di Indonesia adalah gejala alam untuk mengurangi jumlah penduduk agar dicapai equilibrium. Kerna goverment tidak lagi mampu memenej rakyatnya yang begitu banyak".
Benarkah ?
Sebagai hipotesis-spekulatif yang disampaikan dalam forum informal, tentu tidak untuk diuji formal. Tapi, peresapan makna yang intens dari pendapat tersebut memunculkan nuansa lain. Nuansa yang dibangun dari pemahaman orang yang tidak punya keterlibatan langsung maupun tidak langsung dengan musibah yang terjadi. Nuansanya bisa jadi, lebih realistis-objektif dalam bingkai logika.
Berbeda nuansa dengan sudut pandang kita yang cenderung emosional dan kadang-kadang sentimentil karena terbawa suasana derita yang dirasakan. Suasana yang selalu dililit masalah. Masalah kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, dan setumpuk masalah lainnya. Membuahkan derita yang berkepanjangan. Korban berjatuhan, kerusakan, rasa tidak aman dan sederet lainnya.
Nuansa yang kita bangun seringkali menyeret pada kesibukan yang berkutat pada masalah dan terpaku menanggulangi dampak, disertai emosi untuk segera keluar dari musibah yang sedang terjadi. Kecelakaan pesawat terbang, kita disibukkan dengan dana asuransi, dana santunan dan mencari siapa yang salah atau siapa dapat disalahkan. Terjadi banjir, energi kita habis untuk mencari korban, bantuan kebutuhan, santunan dan mencari siapa yang salah atau siapa dapat disalahkan. Pola seperti itu seperti seragam sebagai manual penanggulangan masalah.
Hasilnya, secara kasat mata kita menyaksikan, hampir tidak ada masalah yang terungkap tuntas permasalahannya, ada tindak lanjutnya, dan ada pelajaran atau program untuk masa depan. Masalah dianggap selesai jika ada masalah baru yang terjadi, atau media telah bosan mempublikasikannya. Lenyap pelan-pelan dan begitu saja. Ketika ada peristiwa serupa atau kelanjutan dari peristiwa tersebut, atau memang akibat dari bencana terdahulu yang tidak tertangani, kita semua kalang kabut lagi. Seolah-olah peristiwa itu yang pertama kali terjadi. Akhirnya, menggunakan manual yang sama lagi.
Maka sekarang, selain manual yang telah biasa dilaksanakan kita tingkatkan dengan lompatan ke depan dengan nuansa realistis-obyektif. Bagaimana bersiap, menanggulanginya dan program ke depan. Jika kita beranjak dari lontaran pendapat orang Singapura di atas, maka kita bisa interpretasi dua hal. Interpretasi denotatif, bahwa benar itu gejala alam, sunatullah dari Tuhan mencampuri ketidakmampuan negara kita, maka kita bersiap. Siap dari segi fisik dan mental, karena bencana dan musibah akan terus berlangsung sampai diperoleh keseimbangan baru. Di sinilah kita memerlukan kearifan. Karena di sini kita dituntut untuk menyiapkan rencana terbaik. Bisa jadi pilihannya adalah terbaik dari yang terjelek. Interpretasi konotatif, atau mungkin pleonastis, bahwa bangsa kita adalah bangsa yang tingkat pendidikannya memperihatinkan. Bahkan seolah-olah orang Singapura tersebut ingin mengatakan, "Lihatlah Singapura, segalanya terurus dengan baik karena diurus oleh orang-orang yang terdidik dengan baik. Juga, rakyat yang diurusnya adalah orang yang terdidik. Sehingga, tidak ada bencana".
Gambaran untuk masa yang akan datang, agar bisa keluar dari kabut fesimistis akibat bencana, musibah, masalah dan derita yang seolah tiada henti, untuk kemudian dapat memandang optimistik masa depan yang lebih ceria, kita harus punya jalan penyelesaian lain, sudut pandang penyelesaian yang lain yaitu sudut pandang penyelesaisan untuk masa depan. Penyelesain seperti ini sangat memerlukan kearifan dari kita semua sebagai bangsa dan secara simulatan harus dengan peningkatan pendidikan yang sungguh-sungguh.

***

Catatan Penting
Sebenarnya agak keterlaluan kalau kita menganggap musibah-musibah yang melanda negeri kita sebagai gejala alam agar diperoleh keseimbangan. Jumlah penduduk, iklim, kondisi alam, bahkan sosiologis. Tapi kita berpegang bahwa persiapan yang baik adalah persiapan yang siap untuk segala kemungkinan, termasuk kemungkinan terburuk. Anggap saja ini adalah persiapan dengan skenario terburuk.
Yang harus kita lakukan adalah kita siap materi dan siap mental. Secara materi, kebendaan, adalah kavlingnya ilmu pengetahuan. Prediksi dan deteksi dini musibah dan bencana yang akan terjadi. Mungkin juga menemukan pola terjadi bencana/musibah atau banyak lagi. Namun, masalah ini tidak menjadi bahan uraian lebih labjut dalam tulisan ini. Tulisan ini lebih menekankan pada bagaimana menyikapi fenomena bencana/musibah di tengah masalah dan derita yang telah dan kemungkinan akan terus bertubi-tubi melanda negeri kita. Fenomena kehilangan, cacat dan luka yang ditinggalkan musibah lalu masih jelas terasa. Sementara itu, penyakit kronis negara kita ; kimiskinan, ketidakadilan dan/atau (akibat) KKN belum juga ada tanda-tanda sembuh.
Pertanyaan yang paling mendesak adalah : Sanggupkah kita sebagai suatu bangsa, suatu negara dapat bertahan ? Sampai kapan ?
Seorang anggota Forum Kajian Antropologi Indonesia, Achmad Fedyani Saifudin memberikan isyarat bahwa nasionalisme akan mengalami kemerosotan apabila distorsi yang disebabkan faktor-faktor lain dalam negara-bangsa ini semakin meningkat. Faktor-faktor yang dimaksud beliau meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Secara internal kita berhadapan dengan fenomena meningkatnya kemiskinan, korupsi, konflik-konflik kepentingan partai dan golongan, kesenjangan sosial-ekonomi, ketidakpastian pelaksanaan hukum, jurang generasi, dan banyak lagi; secara eksternal kita menghadapi fenomena global, seperti liberalisasi ekonomi, memudarnya ideologi, dan meningkatnya komunikasi lintas batas negara dan kebudayaan. Selanjutnya Kepala Staf TNI Angkatan Darat, sebagai seorang militer secara tegas mengatakan bahwa empat tahun belakangan ini berada dalam kondisi sangat memperihatinkan, bahkan dikatakan sudah luntur dan hampir berada pada titik terendah. Ia menunjuk ada sekelompok anak bangsa yang rela dengan rasa tidak bersalah menjual negara ini kepada bangsa lain hanya untuk mendapatkan popularitas, kedudukan ataupun materi. Seorang peneliti, R. Siti Zuhro (IPI), menyampaikan analisanya meskipun sedikit berspekulasi, "Kesabaran masyarakat Indonesia pasti ada batasnya. Kesengsaraan yang dirasakan rakyat juga ada toleransinya. Bila masalah kemiskinan dan pengangguran tak juga dapat teratasi dan rakyat dibiarkan mencari solusi sendiri, ancaman revolusi sosial bukan tidak mungkin menjadi kenyataan. Kita berharap ada jalan terbaik tanpa saling melukai". pemberontakan.

Sebegitu mengerikankah ?

Albert Camus berteriak, Aku memberontak –maka aku ada ! Pemberontakan akan terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang merasa tidak ada dan memberontak untuk menunjukkan bahwa dirinya ada. Lebih jauh Camus menjelaskan bahwa semangat pemberontakan yang menggusurkan pikiran bermula diilhami oleh absurditas dan kemandulan dunia yang tampak jelas. Dalam pengalaman yang absurd, derita itu bersifat individual. Tetapi saat pemberontakan mulai, penderitaan dilihat sebagai suatu penyelamatan kolektif.

Segala kemungkinan, ketika situasi tertentu, bisa terjadi. Situasi sekarang adalah situasi yang hampir susah di bayangkan. Tidak ada komparasi kondisi seperti ini. Ketika gejala alam, gejala alam karena ulah manusia (ingat banjir, longsor dan terakhir lumpur Lapindo) dan teknologi, secara bergantian membinasakan penduduk. Pada saat yang sama, penduduk harus mempertahankan diri sebagai penduduk sebagai tuntutan atas situasi yang ada. Ancaman pengusiran, kelaparan, ketidakadilan bahkan penyerangan.

Apa yang bisa kita lakukan ? Tak banyak yang bisa kita lakukan kalau kita berkutat di kubangan ini. Kita tidak akan bisa terlepas. Segala hal akan tetap mengungkung kita. Kita baru akan menemukan banyak jalan apabila kita dapat keluar dari kungkungan ini.

Kita harus keluar dari kungkungan ini.

Biaya yang paling murah adalah kesadaran untuk kembali ke titik awal. Kita harus menyatakan sebenar-benarnya bahwa kita telah gagal membangun negara. Jelas kegagalan utama adalah dari perencana dan pemerintah. Jangan ada pihak yang mengkalim bahwa di sektor ini, sektor anu kita berhasil. Kita harus berkomitmen bahwa kita telah gagal sebagai negara membangun negara. Tetapi kita tidak memulai dari nol. Kita telah berhasil, dengan segala kekurangan, mempertahankan negara.

Namun kesadaran kegagalan ini harus dapat menyentuh seluruh sanubari kita, seperti halnya Proklamasi Kemerdekaan, maka ini proklamasi kegagalan atau kita mengatakannya Proklamasi Kedua (meminjam judul puisi Hamid Jabbar). Masalah terbesar adalah bagaimana menyamakan persepsi kegagalan.

***

Catatan penting lainnya
Selanjutnya, jika orang Singapura menyindir kita. Soal tidak bisa diatur, orang Indonesia di mata orang Singapura, sudah bukan rahasia lagi bahwa orang Indonesia di mata orang Singapura sebagai warga yang tidak bisa diatur dan banyak membuat masalah. Bahkan opini tersebut dikembangkan menjadi komoditi politik dalam rangka bisinis. Dan itu adalah kelebihan Singapura.

Bayangkan saja, ketidaksukaan terhadap Indonesia begitu melekat, yang kemudian dilekatkan pada produk apapun dari Indonesia susah masuk, bahkan tidak dapat masuk ke Singapura. Kalau toh terpaksa untuk bisa masuk ke Singapura maka harus punya pabrik di luar Indonesia. Baru bisa masuk Singapura. Ambil contoh Indofood, yang membuat pabrik di Malaysia.

Secara sederhana ini adalah taktik bisnis. Diakui dalam beberapa hal produksi Indonesia memiliki beberapa keunggulan. Paling tidak harga. Jika produk Indonesia bisa masuk dengan leluasa, maka bisa jadi akan mengancam produksi dalam negeri Singapura.

Namun dengan kasat mata kita bisa melihat bahwa profesional negeri kita banyak bisa masuk ke Singapura. Siswa-siswa berprestasi banyak mendapat beasiswa pemerintah Singapura. PLRT berijazah bisa masuk ke Singapura. Ini mengandung pengertian bahwa masalah utamanya adalah pendidikan. Bahwa TKI Indonesia tidak dapat diatur itu pengertiannya adalah TKI Indonesia tidak berpendidikan.

Pun begitu, ketidakmampuan pemerintah mengatur negara adalah bermakna orang Indonesia tidak berpendidikan. Kalau toh telah menyelesaikan jenjang pendidikan kualitasnya perlu dipertanyakan.

Memang susah dipahami, dengan kondisi negara kita, para perencana pembangunan dan pemerintah kita tidak atau ragu-ragu meletakkan pendidikan pada skala prioritas. Lebih ironis dan kontrakdiktif, ketika (meskipun ragu-ragu) meletakkan pendidikan pada prioritas di satu sisi tetapi di sisi lain justru sebaliknya. Betapa tidak, ketika angin segar UU No. 20 tahun 2003 berhembus, tiba-tiba para akademisi secara langsung maupun tidak langsung dijadikan birokrat. Hengkanglah para pendidik handal kita menjadi birokrat, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Para akademisi yang tersisa dilibatkan (sebenarnya dijerat) dengan proyek-proyek bergelimang uang. Atas nama konsultan, pendamping, supervisor, entah apa lagi labelnya. Habislah sudah.
Padahal di perguruan tinggilah yang sementara ini kualitas pendidik masih bisa dibanggakan. Di tingkat menengah ke bawah sudah menjadi rahasia umum, kualitas guru dewasa ini belum memuaskan. Laporan-laporan hasil penelitian ilmiah mungkin terlalu rumit untuk memahaminya, coba riset sederhana saja, tanya guru yang ada, apakah menjadi guru adalah cita-cita dari awal ? Hasilnya sudah pasti dapat diduga, menjadi guru pada umumnya adalah “kecelakaan”.

Pertanyannya adalah apakah akan dibiarkan lebih banyak lagi “kecelakaan” untuk menjadi guru ?

Tentu tidak. Seharusnya adalah dicari, dijemput dan didudukkan untuk menjadi guru. Sudah basi dibujuk sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Kalau benar-benar punya komitmen yang tinggi terhadap pembangunan, maka prioritaskan pendidikan, dan prioritas pendidikan adalah guru.

Meniru negara-negara lain, misalnya Malaysia, peringkat terbaik di sekolah-sekolah ditawari beasiswa untuk menjadi guru, kuliah di Universitas-universitas terbaik, disiapkan untuk menduduki profesi guru dengan jaminan kesejahteraan memadai. Dengan kondisi sekarang dan pengalaman masa lalu, rasanya hal ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kecuali kalau kita mau terperosok untuk kesekian kalinya.
Yang bisa disesuaikan mungkin adalah kesejahteraan, bisa secara bertahap dengan catatan ketika calon guru beasiswa lulus dan siap ditempatkan, kesejahteraan yang memadai sudah siap.

Dengan guru-guru yang berkualitas diharapkan mengahsilkan lulusan yang berkualitas pula. Warga yang berkualitas.

***

Catatan Penutup
- Kamis, 17 Agustus 2006.
Pukul 09.00 waktu Singapura : Upacara HUT Kemri di Singapura di KBRI Singapura dimulai. Pembina upacara adalah Duta Besar, pasukan pengibar bendera adalah Paskibra dari Sekolah Indonesia di Singapura (SIS). Petugas dan peserta adalah warga negara Indonesia yang sedang berada atau memang menetap di Singapura.
Pukul 10.00 : Upacara selesai dilanjutkan ramah tamah dan menyantap hidangan berupa masakan khas Indonesia.
Yang terasa berbeda dengan upacara di tanah air adalah kehidmatannya. Apalagi ketika mengheningkan cipta dan Lagu Indonesia Raya. Begitu hening, begitu hidmat padahal tidak ada satupun tentara mengawasi kami. Kalau di Indonesia, di belakang peserta biasanya berjejer tentara dengan tampang seram. Itupun masih saja ada yang ribut.
Yang cukup menyolok dari peserta upacara adalah kelompok pelajar berseragam putih-abu. Seragam putih-abu adalah seragam siswa SMA di tanah air. Di Singapura, siswa SMA Sekolah Indonesia saja tidak berseragam putih-abu, konon kain warna abu-abu di Singapura susah didapat. Usut punya usut ternyata seragam putih-abu mereka adlah seragam sekolah asal mereka di Indonesia, sebelum pindah ke sekolah Singapura. Sengaja mereka bawa hanya dipakai untuk mengikuti upacara HUT KEMRI.
Yang terasa mengharukan adalah waktu berbaur menikmati hidangan khas Indonesia. Semua ceria, riuh bersenda gurau. Catatan tambahan : banyak dari hadirin adlah etnis Cina. Bahkan pelajar berseragam putih-abu, hampir seluruhnya etnis Cina.
Mungkin tidak representatif tetapi lebih dari kasus, bahwa kita tidak perlu mempertanyakan rasa kebangsaan kita. Dalam suasana kearifan dan pendidikan, nasionalisme adalah busana pertama dan optimisme adalah busana berikutnya. Dengan kearifan yang terdidik dan pendidikan yang arif, kita tidak akan berlama-lama dalam kesuraman. Pemerintah dengan kearifan managerial-konstitusional dan rakyat melalui kearifan partisipatif bersama-sama mengimplementasikan kecergasan sebagai buah pendidikan dalam menata dan merencanakan masa depan. Maka, kita akan menatap hari esok lebih ceria.

Monday 10 December 2007

Genting


Waktu mendengar kabar bahwa tutup mesin pesawat Lion Air lepas ketika mengudara, seorang kawan saya mantan pramugara berseloroh, "Emang kalo naik pesawat di kita tidak jatoh itu karena takdir!"

Separah itukah ?

"Lha iya, sudah jelas transfortasi beresiko tinggi dan aturannya sangat ketat, koq bisa-bisanya teledor seperti itu", kawan saya makin berapi-api lengkap dengan logat Betawinya.

Kalau diresapi ada benarnya. Beresiko tinggi dan aturannya sangat ketat begitu apalagi transfortasi yang lain. Transfortasi darat misalnya.

Saya jadi teringat jika saya mudik. Udik saya ada di sebuah desa perbatasan kabupaten Tasikmalaya dan kabupaten Ciamis. Setelah menggunakan Bis harus nyambung pakai angkutan jenis minibus. Dan, penumpangnya ? kursi seharusnya diisi empat orang, bisa jadi lima atau enam. Yang paling mengerikan di depan, seharusnya tiga orang dengan sopir, sudah biasa diisi empat bahkan lima orang. Alhasil sopir duduknya mepet di pintu, pegang setirpun miring dari kanan. Tapi namanya sopir angkutan umum, dalam posisi seperi itu di jalan tetap tancap gas. Saya juga bingung bagaimana dia menginjak pedal gas.

Bagaimana dengan kenyaman ?

Rasanya, bukan saatnya untuk ditanyakan.

Keselamatan ?

Saya teringat kata-kata kawan saya tadi, "Kalau selamat itu karena takdir!"

Gawat. Lebih tepat lagi genting. Koq genting, kayak perang aja. Ya, karena taruhannya sama-sama nyawa.

Berbicara soal taruhan nyawa, negeri kita seolah-olah tak henti-hentinya ditimpa kejadian yang tidak sedikit, bukan lagi taruhan, tapi memang benar-benar merenggut nyawa. Kecelakaan, konflik, atau bencana alam.
Sebagai elemen bangsa, kita merasa prihatin. Namun, keprihatinan yang terus-menerus dan silih berganti bisa berbuah kurang kepercayaan diri. Kurang kepercayaan diri sebagai bangsa. Jika benar-benar ini terjadi inilah sebenarnya genting !

***

Genting yang lain adalah kalau menyimak perang kata-kata blogger Indonesia (bloger Malaysia menyebutnya Indon) dengan blogger Malaysia (blogger Indonesia menyebutnya Malingsia) di dunia maya. Saling ejek, saling hina dan terakhir saling tantang.

Ketika minggu lalu saya mendapat tugas ke Malaysia, sempat ketar-ketir juga. Wah ini keadaan sedang genting. Harus hati-hati.

Sesampai di bandara KLIA mulai lihat-lihat situasi, kalau-kalau ada indikasi ke arah itu. Setelah dirasa tidak ada tanda-tanda yang perlu dikuatirkan baru melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan.

Dilalah tujuannya adalah Genting. Tepatnya Genting View Resort. Namanya Genting tetapi jauh dari keadaan genting. Yang ada (sepertinya) damai dalam nuansa ambisius. Suatu resort di tengah kawasan hutan (meski tidak lebat) dengan bangunan-bangunan tinggi "menempel" di lereng-lereng. Apartemen dan hotel pongah berdiri dalam kemiringan dan kehijauan.

Berjalan ke kawasan lebih atas, highland, aroma ambisius makin kental. Bangunan-bangunan makin pongah berlomba untuk melebihi tinggi puncak gunung dan tanpa ragu mengejek lereng-lereng dan tebing terjal dengan akar-akar beton.

Sasampai di puncak saya merasa sedang menginjak-injak tingginya gunung. Dan, tak kuasa lagi untuk bercekak pinggang dan memandang rendah apapun yang berada di bawah.

Dalam pekat kabut puncak gunung, angin basah menampar-nampar seraya menyadarkan, inilah sebenarnya genting !
***